TUHAN PANTASKAH AKU HIDUP

TUHAN PANTASKAH AKU HDUP

Malam nan indah ditemani sang bulan menampakan wajahnya yang sempurna. Bintang-bintang berkilauan seakan mengajaku bercengkrama dengannya. Angin kemarau selatan menyapaku yang termenung di paflon jendela kamar. Terpaku memandangi tiang–tiang angkuh gerbang rumah. Adam. Anak tunggal seorang pengusaha sukses yang mempunyai saham terbesar se-Asia Tenggara. Hidup bergaya hedonis dengan segala fasilitas extra wonderful. Bergaul dengan lingkungan zetset pusat kota. Tak ayal semua yang ia inginkan pasti dikabulkan. Walaupun di usianya yang terbilang sangat muda. Adam telah di didik Ayahnya untuk menjadi seorang pengusaha sukses yang terikat dengan schedule and timing. Segala tindak tanduk dan pola pikirnya sangat diperhatikan. Bahkan ia ditempatkan di sebuah rumah mewah bak istana zaman Imperium.
Adam masih terpaku dalam fantasinya. Ia menunggu seseorang yang sangat dirindukannaya. Seseorang yang telah mengubah selururuh taraf hidupnya. Tak lama kemudian seorang satpam membuka pintu gerbang. Adam terbangun dari lamunan dan berharap dewi fortuna berada di pihaknya. Sebuah mobil Lamborgini hitam keluaran terbaru meluncur ke halaman rumah. Dengan senyum mengembang Adam beranjak menuju halaman rumah. Menuruni tangga empat lantai yang berliku membuat nafasnya sedikit tersengal-sengal.
Dengan segap dua suster dan seorang satpam berseragam putih membukakan pintu mobil.Seorang lelaki bertubuh tegap dengan Fulldress-nya setengah kusut keluar dari mobil. Guratan wajahnya menunjukan rasa lelah yang sangat. Namun ketika Ia melihatku berdiri di depan pintu rumah. Senyumnya mengembang menyeka seluruh guratan di wajahnya. Andri .Seorang Ayah yang sangat kurindukan. Tiga bulan sudah tidak bertemu. Setelah menghadiri penataran pengusaha ternama di sebuah lembaga CEO Amerika Serikat. Sungguh prestasi yang sangat luar biasa. Di usianya yang menginjak kepala tiga. Ia telah menguasai beberapa perusahaan besar dunia. Tak ayal banyak seminar-seminar dan menteri-menteri yang mengundangnya di acara-acara penting.
Kuberlari menuju Ayah dan memeluk tubuhnya. Kehangatan tubuh Ayah menyebar ke seluruh rongga jiwa. Menghapuskan kerinduan yang begitu mendalam. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi. Ku ajak Ayah ke belakang rumah. Terlihat hamparan rumput hijau lapangan golf. Diterangi bintang dan bulan yang setia menemani di setiap waktuku. Kuberbaring bersama Ayah di atas rumput dan berbincang-bincang tentang pengalamannya ketika di Amerika Serikat. Begitu menyenangkan. Banyak pelajaran yang Ayah berikan kepadaku. Tak lama kemudian Ibu datang. Aura Iner Beauty ibu begitu terasa menentramkan hati. Ia mendekat dan mengecup kening. Sungguh dari 10 tahun perjalanan hiupku baru kali ini aku merasakan kehangatan yang tidak dapat kulupakan.
Tiga tahun berlalu Ayah semakin jarang di rumah, tak ada bedanya dengan Ibu. Dalam Satu tahun, keberadaan mereka bisa dihitung dengan jari. Namun, semakin hari bisnis Ayah semakin memburuk. Banyak perusahaan dalam negri Ayah yang gulung tikar dikarenakan krisis moneter yang berkepanjangan, begitu juga dengan perusahaan di luar negri. Mereka gulung tikar karena harga minyak yang kurang stabil dan melambung tinggi. Tidak sedikit saham dan perusahan Ayah yang dijual untuk menutupi kerugian dan hutang-hutang perusahaan yang lainnya. Disamping itu, kesehatan Ayah kian hari kian memburuk. Banyaknya pikiran merupakan faktor utama penyebab kesakitannya. Bermacam-macam penyakit ganas bersarang di tubuh Ayah. Terakhir Ayah di vonis dokter menderita diabetes mellitus dan penyakit ginjal tingkat tiga. Penyakit yang banyak di takuti orang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun Ayah tidak menghiraukan penyakit itu karena Ayah merasa tubuhnya sehat. Ayah masih melanjutkan aktivitasnya sehari-hari mengelola bisnis yang hampir mati.
Hari berganti dan bulanpun berlalu tetapi kondisi Ayah kian memburuk. Di suatu saat setelah rapat Ayah terjatuh tak sadarkan diri. Ayah langsung dilarikan ke sebuah rumah sakit terbaik di Jakarta. Namun penyakit Ayah yang sudah kronis dan peralatan rumah sakit yang kurang memadai. Ayah dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit Singapura.Tanpa berfikir panjang Ibu langsung membawa Ayah terbang ke Sinagapura. Alhamdulillah pihak rumah sakit Singapura sanggup mengobati Ayah. Walau mereka tak menjamin akan kesehatan Ayah karena penayakit yang diderita Ayah sudah kronois. Ayah di tempatkan diruangan VIP dan otomatis membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak jarang Ayah menjalani operasi ginjal. Hingga akhirnya Ayah divonis dokter untuk melakukan cuci darah setiap satu bulan sekali.
Mendengar hal itu hatiku hancur bagaikan dihantam palu godam kiriman dari langit. Menurut informasi yang kudapat dari berbagi sumber pos kesehatan. Bahwasannya seseorang yang telah divonis dokter untuk menjalani cuci darah. Maka jarak tenggang waktu ia mencuci darah akan semakin sempit. Hingga durasi tiap minggu sekali ia harus mencuci darah. Apabila demikian, maka kehidupannya telah bisa ditentukan dan hal ini sekarang menimpa Ayah. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Seorang Ayah sekaligus guru yang mengajariku tentang berbisnis yang baik. Kini kondisi Ayah sangat buruk sama halnya dengan kondisi ekonomi keluarga. Semua kekayaan Ayah yang melimpah ruah kini habis dijual, mulai dari perusahaan-perusahaan besar, perkebunan teh, lapangan golf, hingga mobil-mobil mewah kelas dunia semuanya habis terjual. Yang tersisa harta Ayah satu-satunya tinggal rumahku bak istana zaman Imperium di bilangan puncak bogor
Tenyata keadaan ini berdampak negative pada mental Ibu. Akhir-akhir ini Ibu sering marah-marah pada setiap orang yang berada di sekelilingnya, tidak terkecual dengan Aku. Terlabih ketika Ibu mendapat kabar kalau Ayah harus cuci darah lagi. Kini tenggang waktu Ayah cuci darah menajadi dua minggu sekali. Sebuah keadaan yang sangat kritis. Kondisi Ayah saat ini sangat jauh dari kondisi Ayah tiga tahun yang lalu. Dulu Ayah seorang lelaki yang gagah, tegap dan tampan. Seorang pengusaha muda sukses yang diakui dunia. Bahkan majalah Times Ameika Serikat telah memuat biografi tentang Ayah dan memejeng foto Ayah di cover utamanya. Tak ayal banyak pengusaha dalam maupun luar negri yang berguru kepadanya. Sungguh masa puncak kejayaan Ayah begitu cemerlang. Bagai mentari di malam hari menyilaukan setiap pandangan.
Namun sekarang kondisi Ayah bertolak seratus delapan puluh derajat. Semua kekayaan yang melimpah ruah dan kesehatan telah sirna dari tubuh Ayah. Kini wajah Ayah pucat pasi. Tubuhnya lemah tak berdaya terbujur kaku diatas ranjang. Tulang-tulang tubuh Ayah kini telah menampakan wujud aslinya dan selang infuse talah menjadi bagian dari tubuh Ayah. Sungguh aku tak sanggup melihat kondisi Ayah sekarang ini. Aku tak kuasa menahan air mata disetiap melihat wajah Ayah. Tak ada kata yang keluar dari mulutku selain doa yang kulantunkan disetiap waktu.




“Ya Allah begitu banyak cobaan yang Engkau berikan kepada keluarga kami. Telah Kau rampas seluruh kekayaan keluarga kami, kamipun ikhlas menerimanya. Tetapi ya Allah aku mohon janganlah kau ambil Ayahku. Dialah harta satu-satunya yang paling berharga dalam hidupku.”
“Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Seandainya penyakit Ayah bisa dipindahkan ke tubuhku. Biarlah aku yang menggantikan Ayah. Aku ikhlas menjalani semua penderitaan Ayah. Berikanlah kesehatanku kepadanya. Tukarkanlah kesehatanku dengan penyakitnya. Biarkanlah ia hidup sehat menjalankan bisnisnya sebagai tulang punggung keluarga. Biarlah aku yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang ini. Kembalikanlah kesehatan Ayah. Berikanlah yang terbaik baginya ya Allah ….Amin…..”

Tak sengaja kedua bola mataku melihat sebuah map biru tergeletak di meja samping ayah. Beranjak kumengambil map itu dan membukannya, ternyata map itu berisi sebuah surat kesepakatan atas penjualan rumahku bak istana imperium di bilangan puncak Bogor, tertera kesepakatan terjalin seminggu yang lalu. Hal ini menandakan bahwanya harta satu-satunya keluargaku telah hilang. Kini keluargaku sudah tidak punya apa-apa lagi bahkan tempat tinggalpun tidak ada, kutak tahu kemana kan kupulang. Kulihat ibu duduk tertidur pulas di bibir ranjang. Waktu telah menunjukan pukul dua belas malam. Tiba-tiba kulihat tangan Ayah bergerak perlahan tapi pasti, bibirnya bergerak kecil seakan ingin mengucapkan sesuatu. Kuberjalan menuju ayah dan memegang tangannya. Kukecup kening ayah penuh hidmat, kehangtan kembali terasa menjalar ke seluruh rongga dadaku yang hilang selama tiga tahun silam. Begitu syahdu dan menentramkan jiwa. Tak terasa air mata mengalir membasahi rambut ayah yang kering. Dengan pelan kubisikan di telinga ayah.

“Ayah …..Ayah ….Ayah bagun yah … Ini Adam….”
“Aaaaaaadam ……di mana kamu nak..?”
“Ini yah…. .Adam di sini disamping Ayah ……”

Perlahan mata Ayah terbuka. Kedua bola matanya melihatku. Tangan Ayah kembali bergerak seakan ingin menyentuh wajahku namun tak kuasa untuk melakukannya. Perlahan Adam memegang tangan Ayah dan menciumnya lalu menempelkannya di pipi . Mata Ayah berkaca-kaca tak terasa air matanya mengalir membasahi telinga.

“Nak mana Ibumu……?’
“Ibu ada di samping yah ..”
“Bu …….bangun bu …. Ayah ingin bicara…”
Perlaha Ibu membuka mata. Setengah kesadaran ibu telah pulih, lalu Ibu mengangkat wajahnya dan memandang ajah Ayah.
“Istriku dimana kamu sayang ……..’
“Ini aku sayang …..disamping kananmu…..”

Perlahan Ayah menoreh kearah Ibu. Tanpa disengaja pandangan Ayah bertemu dengan Ibu. Sebuah keharuan bersemayam di hati mereka.Telah lama mereka menantikan saat-saat seperti ini. Dengan cepat air mata Ibu membasahi pipi. Tanpa disadari Ayah bisa mengangkat tangannya dan menusap air mata Ibu. Suasana haru kembali meliputi ruangan kamar.
“Nnnnannnnda isssstriku………!!!”
“Aaaadam annnnnnaku ……….!!!”
“Sepertinya Ayah sudah tidak tahan lagi menanggung semua penderitaan ini “
“Ayah…….Ayah jangan bilang begitu “
“Adam anaku ……..Nanda istriku……Dengar. Mungkin hidup Ayah tidak lama lagi. Ayah hanya ingin berpesan kepada kalian berdua. Janganlah kalian melanggar perintah yang telah disyariatkan Tuhan, terlebih-lebih tentang solat. Ingat sesungguhnya solat itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusu.”
“Nanda istriku….jaga Adam, didik dia tentang agama dan Adam anaku ….jaga Ibumu lindungi dia, janganlah kamu sekali-kali menyakiti ibumu. Ingat surga itu berada di kaki seorang Ibu.”
“Nnnnannnnnda…….Adddaaam sssepertinya Aayah sudah tidak tahan lagi”
“Laaaa…Ilaaaaaha …Illlalllllahhhhhhh……………’
“Ayahhhhhhhhhhh…………..’

Kini ayah telah pergi meninggalkan semua kenangan dihati, terlebih dengan Ibu. Sungguh tak kuasaku melepas kepergian Ayah. Namun apa daya, aku hanyalah seorang manusia biasa yang pasrah pada takdir. Seorang anak yang ingin berbakti disaat detik-detik terakhir kepergian Ayahnya. Dengan berharap Tuhan bisa menukarkan kesehatanku dengan penyakit yang tengah dideritanya dan kini harapnku sirna ditelan waktu seiring dengan kepergian Ayah.
Keesokan harinya jenazah Ayah diterbangkan ke Indonesia dengan maskapai Singapura Air Lines. Dalam pesawat tak ada yang kupikirkan di benakku melainkan kemana aku akan pulang. Dimana harus ku kurburkan jenazah Ayah. Semua harta keluargaku telah habis dijual untuk biaya berobat Ayah. Kutoreh Ibu yang duduk termenung disamping jok pesawat. Ibujari tangan kanannya sibuk memijit tombol telephon genggam. Entah apa yang sedang Ibu pikirkan. Namun kedua bola matanya begitu serius membaca tiap SMS yang masuk. Menandakan Ibu mendapatkan imformasi yang sangat penting.Kualihkan pandangan ke jendela pesawat.Terlihat hamparan awan putih berombak disinari cahaya mentari pagi. Bagaikan bidadari kahyangan sedang bercengkrama antara satu dengan yang lainnya. Betapa indah panorama atas awan di pagi hari. Tetapi hari ini tubuhku terasa lelah sekali. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat Ayah terbang bersama para bidadari kahyangan mengelilingi gumpalanawan putih. Terlihat Ayah melambaikan tangan ke arahku. Ketika kulangkahkan kaki menuju Ayah. Tiba-tiba Ibu menarik tangan dan menghentikan langkahku. Kucoba untuk melepaskan genggaman tangan Ibu, tetapi genggamannya begitu kuat hingga melukai tanganku, lalu kumemohon pada Ibu unuk melepaskan gengaman tangannya. Namun Ibu hanya diam dan membisu. Kumenangis sejadi-jadinya sambil memohon pada Ibu dan Ibu tetap diam seribu bahasa. Ketika kumenoreh ke arah Ayah. Lambat laun Ayah berjalan menjauhiku. Makin lama tubuh Ayah semakin hilang tertutup awan. Kuteriak sekuat tenaga memanggil Ayah.

“Ayah…..Ayah….Ayahhhhhhhhhh………!”
“Adam…Adam sadar nak, ini Ibu ……..!”
“Ayyyyahhhh……Bu… mana Ayah tadi aku melihat Ayah bu. Sungguh, tadi
kulihat ayah dijendela pesawat terbang bersama para bidadari kahyangan.”
“Adam anaku….dengarkan Ibu nak. Ayah telah pergi. Ayah telah mengahadap sang penguasa alam semesta. Tadi malam Ayah telah meninggalkan kita berdua.”
“Tapi bu…….”

Tiba-tiba Ibu memeluk dan menghentikan ucapanku. Kutermenung dalam pelukan Ibu memikirkan apa sebenarnya yang telah terjadi. Kenapa Ibu berkata demikian padahal tadi aku melihat Ayah di jendela pesawat bersama para bidadari. Astagfirullah aku telah hilaf. Ternyata tadi aku tertidur dan bermimpi melihat Ayah. Tapi apa maksud dari semua ini. Kenapa Ayah pergi menjauhiku bersama para bidadari kahyangan dan kenapa Ibu menghalangiku hingga tanganku terluka. Aku yakin ini bukan hanya sekedar mimpi biasa. Mimpi ini pasti mengandung makna yang dalam. Kutermenung dengan seribu pertanyaan membingungkan.
Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Sang mentari pagi telah menampakan wujud aslinya. Lalu terdengar suara pengumuman dari pramugari bahwa pesawat akan mendarat tiga puluh menit lagi. Tiba-tiba handphone ibu berbunyi sebuah SMS masuk. Dengan cepat ibu membukanya dan membaca SMS itu. Ternyata itu SMS dari kakek ibu danmemberi kabar bahwa mereka siap menerima kami untuk tinggal di rumah mereka. Alhamdulillah, ternyata Allah selalu memberi jalan keluar bagi setiap hambanya yang berserah diri melalui jalan yang tidak disangka-sangka.
Pagi ini terasa begitu cerah. Detik demi detik kujalani dengan penuh optimis untuk menggapai hari esok yang lebih cerah. Walaupun masih ada masalah lain yang terus mengganjal dalan pikiranku yaitu kemanakah harus kukebumikan jenazah ayah?. Namun kuselalu optimis dan berdoa bahwa Allah pasti sedang menyiapkan yang lain dan terbaik untukku. Waktu nenunjukan pukul delapan lewat dua puluh menit. Pesawat akan segera take off di bendara soekarno hatta. Getaran demi getaran kecil selalu bersama dan memancing andrenalinku. Akhirnya pesawat telah take off dengan sempurna di bandara. Kulangsung turun dari pesawat bersama ibu dan mencari kendaraan yang saip untuk mengantar jenazah ayah ke rumah kakek. Tiba-tiba hanphone ibu kembali berbunyi dan sebuah panggilan dari kakek masuk. Ternyata mereka telah menyiapakan sebuah ambulan di depan pintu masuk bendara. Ibu langsung menbawa ayah ke rumah kakek dan menguburkan jenazah ayah di liang lahat yang telah di sediakan kakek. Dan semua urusan masalah ayah, kakek yang megurusi, dari mulai mengkafani hingga tahlilan seminggu lamanya. Semua dibiayai oleh kakek dan nenek. Kini semua urusan yang menyangkut ayah telah selesai sudah.
Hari berganti hari dan minggupun berlalu. Kulanjutkan studiku di sebuah sekolah SMP 102 bilangan Jakarta timur. Kira-kira menghabiskan waktu lima belas menit dari rumahku. Kududuk di kelas dua satu. Entah kenapa aku di tempatkan di kelas itu. Yang ber-image bahwa setiap orang yang duduk di kelas itu mempunyai tingkat IQ yang lebih dari kelas-kelas lainnya. Namun semua itu kuterima apa adanya dan mungkin ini yang terbaik untukku. Hari senin adalah hari pertamaku masuk sekolah. Ku ikuti acara rutinan pagi yang sudah menjadi darah daging di seluruh sekolah negri Indonesia. Upacara senin pagi. Sebuah rutinitas yang memuakan pikiran dan membuang waktu secara percuma. Yang di isi oleh kekonyolan-kekonyolan warga sekolah. Mulai dari anak kelas satu yang bau kencur sampai kepala sekolah yang tua bangka, semua tidak ada bedanya. Tidak ada satupun yang mencerminkan bahwa mereka seorang yang berpendidikan. Mulai dari kehadiran hingga penutupan upacara tidak lain hanya di isi oleh sesuatu yang tidak nencerminkan pendidikan. Namun upacara ini tetap kujalani dengan penuh hidmat.
Teng…teng…teng bel berbunyi tiga kali menandakan upacara telah selesai di laksanakan. Kulihat sebuah jam dinding Quartz putih tertempel di sebuah belahan sekolah. Kedua jarumya telah membawaku pada pukul 07:45 WIB. Tanpa komando semua siswa berhamburan dan bertebaran meninggalkan lapangan upacara menuju kelas mereka masing-masing. Gemuruh suara teriakan dan obrolan tiap siswa bagaikan segerombolan pasukan perang Mongol ketika meyerbu benteng pertahanan pasukan Dzulkarnaen. Menggema ke seantero pelosok sekolah. Kulangkahkan kaki mengikuti aliran arus para siswa. Dengan harapan aku bisa menemukan kelas baruku. Melewati lorong-lorong sekolah yang haus cahaya dan lika-liku jalan tegel bak permaiana ular tangga. Membuat kaki memberikan sinyal-sinyal request untuk istirahat. Akhirnya kuberhenti di perempatan jalan yang menghubungkan empat penjuru sekolah. Kuterpaku dan bingung memilih jalan manakah yang harus ditempuh. Tiba-tiba kumelihat sebuah bangku nganggur dengan luas kira-kira 20 x 100 cm. Tanpa aba-aba yang pasti kedua kakiku berjalan dan menyuruhku duduk. Ah…. Kukeluarkan napas dalam-dalam dengan seluruh rasa penat yang bersembunyi di setiap pembuluh darah. Hembusan angin kemarau menyapa saraf-syaraf yang tegang, seakan memberikan semangat baru untuk melanjutkan perjuangan. Tapi kedua kakiku terasa membeku dan suli untuk diatur, bagai segerombolan masa yang menolak akan kenaikan BBM. Kutorehkan kepala ke kanan dan ke kiri mengharap malaikat datang menolongku. Dan ternyata malaikatku datang. Seseorang sedang berjalan mendekatiku. Namun kedua kakiku tetap protes untuk di gerakan. Akhirnya kuhanya bisa menungu dan memperhatikan malaikatku datang mendekat. Tetapi semakin dekat dan semakin lekat kuperhatikan. Ternyata dia bukan malaikat. Dia seorang bidadari yang diutus untuk menolongku. Parasnya begitu cantik dan mempesona sehingga mampu membuat andrenalinku bereaksi. Langkahnya begitu anggun dengan rambut panjang berderai menghiasi setiap sudut pandangan. Matanya yang bulat dihiasi dengan bulu mata yang lentik memotivasiku untuk menanyakan sesuatu. Ketika sang waktu membawaku dekat denganya. Ia memandangku dan memberikan senyuman manis dari bibir tipisnya. Kubalas senyumannya dengan bibirku walaupun tidak semanis dan setipis bibirnya. Kukerahkan seluruh kanuragan yang kupunya untuk nenanyakan kelas baruku.

" Maaf. Apakah anda tahu dimana kelas dua satu ?"
" Kelas dua satu berada di samping kantin sekolah. Memang ada perlu apa? Mungkin bisa saya bantu ?"
" Saya siswa baru di sini dan saya di tempatkan di kelas dua satu. Tetapi saya tidak tahu dinama kelas baruku itu ?"
" Kebetulan itu kelasku. Kalau begitu mari kita sama-sama ke kelas"

Ternyata dewi fortuna benar-benar berada bersamaku. Saat-saat yang kunantikan telah datang. Saat ketika aku ingin menanyakan banyak dan berbicang-bincang dengannya. Setelah lama kuberbincang. Ternyata dia orangnya asik diajak ngobrol dan itu salah satu sifat yang kusenangi dari setiap orang. Ah.. tak terasa kita sudah sampai di depan pintu kelas. Terliha sekilas pemandangan kelas yang ribut dan kurang tertib menghiasi panca indraku. Kumasuk kelas dengannya, tak lama kemudian sambutan sorakan hangat dari penghuni kelas menerjang. Terasa sangat memekakan telinga. Kulihat seorang ibu guru duduk manis melemparkan senyuman hangatnya kepadaku. Kudipanggil dan mendekatinya dan dia menanyakan tentang keberadaanku di sini. Akhirnya aku di suruh untuk memperkenalkan diri.
Detik berlalu dan bel pulangpun berbunyi. Kukemasi seluruh buku yang tadi kubawa. Tiba- tiba dia datang lagi dan mengajaku pulang. Ah… suatu kesempatan yang sangat aku tunggu- tunggu. Tanpa pikir panjang aku langsung menyambut ajakanya. Dijalan aku banyak ngomong dengannya membicarakan banyak hal. Tapi satu informasi yang paling penting, ternyata namanya Dian. dia tinggal di daerah komplek Cibiru kira- kira 15 menit dari rumahku.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar disini. . . ,
demi kebaikan bersama