JADIKANLAH AKU BATU

JADIKANLAH AKU BATU

September kelabu, merupakan sebuah bulan dari rentetannya dua belas. Hujan rintik-rintijk di temani awan mendung mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku tunggu. Tahukah engkau kawan siapa dia ? seseorang yang saya pandang sebagai orang tercantik di dunia. Dia adalah ibuku. Sunarmi, seorang ibu yang sekarang jauh di negri orang. Negri yang menyandang gelar sebagai negri penguasa OPEC. Namun sayang ibuku bukan orang yang terlalu penting di negri ini. Tetapi saya yakin seandainya pekerjaan seperti ibuku tidak ada, apalagi kalau demo besar-besaran. Orang-orang arab ini pasti akan keteteran mengurus keluarganya. Pekerjaan ibuku adalah sebagai Service Home Work atau lebih akrab disebut sebagai pembantu rumah tangga. Ya.. sebuah pekerjaan yang sangat tren di Indonesia. Hampir setiap tahun jumlah profesi ini menunjukan tingkat prestasinya yang tajam. Dan telah menyandang gelar Excelent dikomunitasnya. Orang-orang memanggilku Abdullah Einsten, karena aku selalu menyandang peringkat pertama di sekolah. Padahal aku rasa selama ini aku tidak pernah belajar, kerjaanku tiap pagi bantu nenek membuat kue, siang jualan Koran di terminal dan kalau malam aku memijat kakek yang kecapean pulang dari ladang. Memang keluargaku telah lama mendapatkan warisan kemelaratan dari sang leluhur, dan tidak dapat dielakan walaupun seluruh keluargaku mandi tujuh bunga di tujuh sumur belanda, warisan ini tak pernah lari walaupun satu jengkal dari keluargaku. Ayahku telah lama meninggalkanku setelah tahu masalah ini. Ia lari dengan janda kembang kecubung, walaupun umurnya sudah kepala enam, perawan tua ini belum punya suami baru. Dan malangnya, Ayahkulah menjadi pengisap bunga kecubung itu karena hartanya yang melimpah.
Rutinitas kehidupanku kujalani dengan semangat dan penuh optimis. Di samping aku mempunyai otak yang lumayan sukses bagi standar orang Indonesia, aku juga punya banyak Network dari teman seproefsiku yaitu tukang Koran. Jangan khawatir dulu kawan, walaupun tukang Koran jalanan, kalau ibuku sudah datang dari arab, aku pasti jadi bos Koran malah bisa jadi punya pabrik Koran, karena uang ibuku.
Dan hari yang kutunggu pun datang. Aku menerima surat dari ibuku, ia mengabarkanku akan datang bulan depan. Sungguh senag hatiku, telah lama aku menuggu saat-saat seperti ini,. Hampir satu windu aku menunggunya. Telah tampak jelas di benaku sebuah pabrik Koran dengan jumlah karyawan lusinan dan mempunyai agen di mana-mana. Entah kenapa yang terbesit bukan wajah ibuku, namun sebuah pabrik Koran yang sukses besar. Sungguh sebuah euforia yang menggelitik. Kujalani sisa hari kesendirianku tanpa seorang ibu dan sebagai loper Koran. Semua persiapan untuk menyambut ibuku berlangsung sempurna. Mulai dari membersihkan kamar, mengundang teman-teman, sampai membetulkan genting yang bocor, agar ibuku tak repot menyiapkan baskom di saat hujan lebat.
Satu oktober, sebuah tanggal sakral dalam perjalanan hidupku. Aku akan menemui ibuku dan mengakhiri warisan kemelaratan ini. Semua undangan telah kusebarkan dan sebagian dari mereka telah berkumpul di pekarangan rumah. Mentari cerah telah terbit setinggi ujung tombak. Menandakan sang dewi fortuna berada di pihakku. Aku dan teman-teman memperhatikan setiap mobil bis yang berhenti di depan jalan. Walaupun hanya untuk menarik muatan. Dan kami pun serentak berdiri ketika ada yang turun dari sebuah bis yang berhenti tepat di depan kami. Seorang wanita turun dengan membawa dua buah kantong besar. Kuperhatikan setiap inci wanita itu dan kusamakan dengan ciri pada tubuh ibuku. Namun hanya tidak kurang dari dua puluh persen persamaan itu terlihat. Ataukah terlalu lama aku di tinggalkannya sehingga ingatanku menjadi buram. Wanita ini terlihat lebih hitam dan kekar. Rambutnya brekele seperti permen gula merah yang di jual di pasar malam. Tepatnya ia seorang muso di film Ruffi sang bajak laut. Wanita itu berjalan kearah kami seakan dia tidak memperdulikan kami. Kucoba mengucek kedua mata dan berharap dia bukan ibuku. Teman-teman undanganku hanya terdiam dan berusaha menyamakan diriku dan dirinya. Tak lama kemudian neneku keluar seraya berteriak “Sumarniiii…..anaku”. aku terhentak di buatnya. Suara itu bagaikan petir menyambar bulu kuduk. Aku merinding setengah mati. Tak beda dengan teman undanganku. Mereka saling memandang dan menatap wajahku. Bergegasku mendekatinya dan mencium kedua tangannya. Walaupun berat semua ini, namun aku harus menerimanya. Kuangkat barang-barangnya dan kuantarkan kedalam kamar. Hari ini kulewati di luar jalur harapan.
Hari-berganti dan bulanpun berlalu. Dengan cepat sekenario kehidupanku berubah total setelah kedatangan ibu kandungku. Setiap pagi kumenjumpai agenda baru, yaitu mengambil air dan mencuci piring, dilanjutkan dengan agenda lama, membantu nenek membuat kue. Otomatis jatah tidurku berkurang satu jam. Jadi, tepat pukul tiga pagi aku harus stand by di sumur warisan dengan seonggok piring kotor. Siangnya sebelum jualan Koran, aku dihidangkan setumpuk baju kotor warga kampung. Karena ibuku membuka usaha baru, yaitu, menjadi laundry kampung . Dan malam selepas memijit kakek kuberubah menjadi salesman laundry kampung. Kuberjalan keliling kampung mengantarkan baju bersih dan mengambil baju yang telah kotor. Tak ayal dalam seminggu kedua betis kakiku bagai singkong di suntik botox. Besar tak beraturan. Di samping itu, setiap pekerjaan yang kujalani harus selesai dengan cume laude atau sempurna. Tak jarang karena kesalahan sedikit kudisabeti rotan atau sepupunya gagang sapu. Sungguh baru beberapa hari saja ibuku telah merubah rumah kesayanganku menjadi penjara Guantanamo. Luar biasa !!...
Malam ini terasa begitu melelahkan. Setelah berubah menjadi salesman laundry kampung, kubelajar lembur semalaman, karena besok akan di adakan ujian akhir semester kedua. Semua materi yang akan diujikan telah kuhafal semalam suntuk. Tepat pukul dua pagi mataku melakukan demo besar-besaran meminta haknya untuk tidur. Aku pun tak berdaya di buatnya. Kupejamkan mata dan berlayar mengarungi samudera mimpi. Namun, baru sebentar badai samudra datang melanda, perahu yang kutumpangi terseok ombak dan menabrak batu karang, belum sempat kuberdiri, tiba-tiba kumelihat ombak tinggi menuju ke arahku dan akhirnya. “ Byurrrrrr…….!”.
Sebuah semburan air berkecepatan 683 km/jam tumpah ruah membasahi kamar diiringi lemparan ember Lion Star. Samar-samar kulihat bajak laut brekele seperti dalam film one piece. Bajak laut itu mendekat dan menarik tubuhku dalam-dalam, membawanya kesebuah tempat yang saya rasa tempat ini tidak asing lagi. Tapi kepalaku terasa berat dan amat sangat pusing. Ternyata bajak laut itu belum puas membantaiku. Serta merta ia mengguyuriku dengan lusinan gayung, kuterperanjat dibuatnya, secara tidak langsung kesadaranku pulih disambut dengan teriakan.

” Bangunnnnnnnn!!!!!!. Dasar pemalas..lihat jam berapa sekarang.”

Melihat tubuhku basah kuyup. Bajak laut itu pergi mencampakanku dengan seonggok piring kotor. Kuterdiam termangu dengan kepala pening tak tertahankan. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh menggema seantero kampung. Semangatku tumbuh untuk melakukan rutinitas. Namun, Uh.... kepalaku pusing sekali. Seluruh badanku terasa di potong-potong, sakit tak terbayangkan. Maklum baru satu jam aku tidur dengan rutinitas yang sangat berat ini. Kukembali duduk menahan kepala yang begitu berat. Kuratapi nasib yang begitu menyesakakkan. Mati segan hidup tak mau. Kira-kira begitulah ungkapan dalam hati.
Sang mentari pagi bersinar cerah. Cahaya kuningnya memancarkan kesegaran bagi jiwa yang kelam. Tanpa terasa pekerjaanku telah selesai. Cucian telah bersih, bak mandi telah penuh dan kue-kue nenek telah jadi. Kuberanjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Semburan demi semburan air mengalir membasahi. Kesegaran kembali bersemayam dalam tubuh. Kuberanjak kesekolah untuk melaksanakan ujian akhir semester.
Teng..teng....teng ..... bel berbunyi tiga kali menandakan ujian hari ini telah selesai. Kulangkahkan kaki keluar dari sekolah. Udara panas jakarta begitu menyengat, membangunkan sel-sel keringatku yang tertidur sejak pagi. Kuberteduh di sebuah pohon rindang pinggir jalan. Angin kemarau utara menyapa tubuh yang bersimbah keringat. Terasa menyegarkan. Kucoba menenangkan diri yang terasa hancur. Kupandangi perjalanan hidup beberapa hari ke belakang. Begitu cepat berubah. Semua angan dan cita-cita hancur berantakan. Mulai dari hidup lebih baik, sampai mendirikan pabrik koran. Semuanya hilang di telan waktu seiring dengan hancurnya perasaan. Ah... aku mulai lelah menghadapi euforia kehidupan yang tak kunjung berahir. Terbayang jauh dalam pikiran alam bawah sadar. Fantasiku melayang jauh menyusuri lembah jurang yang kelam terseok dengki dan dendam membara. Bagai api dalam sekam. Tak merah namun menyengat. Diam tetapi menghanyutkan. Menyerang yang mengusik dan menghabisi tekanan. Kini pikiranku terdampar di sebuah toko sejenis obat-obatan. Toko yang menjual berbagai jenis obat, mulai dari obat manusia hingga obat serangga semua terpajang rapi. Dari yang menghancurkan hingga yang meyehatkan semua tersedia. Entah apa yang tererjadi pikiranku telah menguasai segalanya. Aku menghampiri toko itu dan membeli sebuah obat yang terlihat asing bagiku. Tahukah engkau kawan, obat apakah itu ? aku membeli CNX2-HO7, atau lebih jelasnya racun kecoa. Kukeluarkan beberapa lembar uang kertas untuk membelinya. Segera aku beranjak dari toko itu untuk menemui teman-teman loper koran.
Hari berganti dan minggu pun berlalu. Sudah dua minggu aku tidak pulang kerumah. Tiap hari kerjaanku hanya judi, mabok dan mencopet di pasar. Tidak ada semangat dalam jiwaku untuk hidup. Yang ada hanya berhura-hura dan benci bercampur dendam kepada ibuku. Ya.. hanya itu yang ada dalam pikiranku, tak ada yang lain. lalu pada suatu malam yang dingin di temani gemuruh hujan lebat. Aku tertidur di semak belukar bangunan kosong. Tak lama kemudian dari kejauhan aku melihat ibuku membawa sebatang kayu rotan yang tak asing lagi bagi tubuhku. Terutama bagian tangan, paha dan betis. Karena bagian itulah sasaran benda keras nan panjang itu. Aku berusaha menggerakan badan bersembunyi pada semak banguan yang gelap. Namun ibuku semakin mendekat kearahku seakan ia tahu akan keberadaanku. Kucoba untuk melangkahkan kaki untuk kabur. Tapi tangan ibuku lebih dulu menarik bajuku dan memukuliku dengan rotan. Aku mengaduh kesakitan. Mejerit menahan pukulan. Terisak dengan kerasnya rotan. Aku memohon ampun dengan jeritan tangis. Namun ibuku tetap memukuliku hingga tulangku terasa copot. Dan akhirnya. Uh...... ternyata aku telah bemimpi. Aku telah mimpi buruk. Buruk sekali bahkan mengerikan.
Sang mentari terbit dari ufuk timur. Cahayanya menyeruak menyinari wajahku yang kusut. Aku kembali bangun dari tidurku untuk yang kedua kalinya. Kepalaku terasa pusing dan berat. Bayangan mimpi itu masih melekat dan terasa. Aku termenung memikirkan kejadian semalam. Mengapa itu bisa terjadi menimpaku ? mengapa ibuku berbuat demikian kepadaku ? apakah ia ibu kandungku ? atau ia hanyalah orang lain yang mengaku-ngaku sebagai ibuku. Beribu pertanyaan menyesakan silih berganti. Akhirnya pikiranku sampai pada titik terakhir dengan kesimpulan bahwa dia bukan ibu kandungku. Ia hanya orang lain yang mengaku sebagai ibu kandungku. Kini aku harus pulang dan menyelesaikan masalah in dengan tuntas.
Kuberjalan menyusuri jalanan kota menuju rumah. Terlihat keadaan rumah yang tidak berubah. Masih terlihat kumuh dan menyimpan kenangan pahit dalam diriku. Sayup-sayup kumengintip sela-sela rumah. mengawasi setiap gerak gerik dalam rumah. namun di sana aku tidak melihat ibuku. Aku hanya melihat kakek dan nenek sedang sarapan. Aku melanjutkan pengawasanku jauh lebih ke dalam rumah hingga ke kamar ibuku. Di sana aku hanya menemukan beberapa pakaian baru terbungkus plastik dan sepiring nasi telur. Sejenak aku menggeledah lemari ibuku mencari barang berharga yang sekiranya bisa di jual. Namun aku tidak menemukan apa-apa. Hanya kekesalan dan kebencian yang memuncak dalam pikiranku. Tahukah engkau kawan apa yang aku lakukan selanjutnya ? aku mengeluarkan racun serangga dari dalam saku dan menaburkannya di atas nasi telur itu. Entah setan apa yang telah merasuki pikiranku hingga aku tega melakukannya. Kini yang ada dalam pikiranku tinggal bagai mana meninggalkan rumah ini dan mendengar kabar kematianya. Aku keluar dari kamar dan tiba-tiba aku bertemu kakek. Serta merta ia memeluku erat dan menciumiku. Ia sangat merindunkaku. Baru dua minggu aku meninggalkannya seakan aku telah meninggalkanya dua tahun. Aku merasa sedih di buatnya. Aku merasakan kembali kasih sayang yang telah hilang. Aku merasakan kembali kehangatan cinta kakek, walaupun ia bukan ayah dan ibuku. Bahkan aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Ayahku pergi entah kemana dan ibuku pergi ke arab sejak aku berumur tiga tahun. Tidak ada satupun kenangan manis dalam hidupku bersama ayah dan ibu. Yang ada hanya dendam, benci dan hina.
Aku mencoba melepaskan pelukan kakek. Tak terasa air mata mengalir membasah pipi. Sungguh baru kali ini aku menangis karena kasih sayang. Lalu kakek menanyakan banyak hal, baik tentang kesehatanku, tidurku, makanku bahkan segala yang menyangkut kehidupanku selama aku pergi ia tanyakan. Kujawab semua pertanyaan apa adanya dan menjelaskan sebab kepergianku. Setelah lama berbincang aku bergegas mohon pamit meninggalkan kakek. Lalu ia mengizinkanku pergi dengan syarat aku harus memberi kabar tentang keadaan diriku. Aku kembali bekerja dengan teman-teman tanpa memberi tahu mereka apa yang telah aku lakukan.
Pagi yang mendung dengan kabut tipis di atas ubun-ubun. Kumulai kehidupanku dengan mencari iformasi terbaru tentang keadaan ibu. Entah mengapa hari ini perasaanku tidak tenang. Bergegas kulangkahkan kaki menuju rumah. sayup-sayup dari kejauhan aku melihat keramaian di sekitar rumah. banyak orang berkumpul dengan pakaian putih dan berpeci. Sengaja kubertanya pada seseorang tentang apa yang telah terjadi di sana. Ia hanya berkata bahwa salah seorang anggota keluarga itu yang bernama Sumarni telah meninggal keracunan. Apa ... !! aku tersentak di buatnya. Jawaban itu bagai petir kebahagiaan dalam hidupku. Entah mengapa aku merasa bangga telah sukses membunuh ibu kandug sendiri. Aku berlari menjauhi rumah menuju teman-teman. Dengan rasa bangga kukabarkan berita ini kepada mereka. Namun apakah yang terjadi dengan mereka ? mereka malah mencampakanku dan mengutukiku dengan sumpah serapahnya. Mereka menjauhiku dan tidak mau lagi berteman denganku. Mereka tidak menghargai sama sekali usahaku. Sungguh aku tidak mengerti dengan mereka. Apa yang telah terjadi kepada mereka ? apakah aku telah berbuat salah ? atau aku telah menyakiti mereka hingga mereka bena-benar meninggalkanku ? Ah ...ini gila !!! mengapa mereka tidak mengerti perasaanku. Mengapa mereka tidak merasakan penderitaanku selama ini. Aku hanya termenung meratapi nasib yang semakin hancur. Benar-benar hancur berantakan. Kini aku tersesat di tengah samudra luas setelah kehilangan kompas. Tak tahu arah, tak tahu tujuan. Bahkan tak tahu untuk apa aku hidup.
Hari berganti dengan segala kepenatannya menyesakan dada. Aku pulang kerumah dengan harapan ada secercah cahaya kehidupan. Cahaya yang menerangi jalan hidupku yang gelap. Namun aku kembali di kagetkan dengan keramaian di depan rumah. Sekarang bukan lagi orang yang memakai baju putih dan berpeci. Apakah engkau tahu kawan siapa mereka ? Mereka adalah polisi. Segerombolan polisi dengan peralatan lengkap. Membawa mobil tahanan dan beberapa motor patroli di sampingnya. Tidak hanya itu rumahku di kelilingi oleh garis kuning dengan tulisan " No Passing Here ". sayup-sayup aku mengendap medekati rumah dengan harapan polisi itu tidak tahu bahwa akulah tersangka dalam kasus ini. Tak lama kemudian para polisi itu keluar dengan membawa kakek. Mereka mengikat kedua tangan kakek dengan borgol dan menyeretnya ke dalam mobil tahanan. Dengan cepat aku belari menuju kakek. Menyingkirkan para polisi yang memegang kakek. Kutarik kakek sekuat tenaga agar terlepas dari para polisi. Aku menjelaskan kepasa mereka bahwa akulah yang membunuh Sumarni. Akulah yang telah menaburkan racun di atas makanannya. Tapi tolong jangan bawa kakek. Ia tidak bersalah. Ia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Tetapi kakek malah memotong kata-kataku. Ia malah mengaku bahawa dialah pelakunya. Di sela-sela keributan kakek hanya berpesan kepadaku. Ia berpesan untuk selalu menjaga nenek. Ia tahu bahwa akulah pembunuh sumarni, namun kakek tidak rela kalau aku di penjara. Ia tidak mau melihatku menderita apalagi terluka. Ia memilih di penjara dari pada melihatku kenderita. Aku masih muda dan jalan hidupku masih panjang. Ia berharap agar aku berubah dan kembali kepada jalan yang benar. Dan satu hal dari perkataan kakek yang hampir membuatku mati berdiri. Ia mengatakan bahwa ibuku telah membelikan baju seragam baru dengan peralatan sekolah yang komplit untuk melanjutkan study-ku. Ibuku membelinya dari uang hasil laundry dan laba dari jualan kue nenek. Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut kakek. Lekat-lekat kutatap mata kakek dengan mengusap wajahnya yang keriput. Tak terliihat sedikitpun penyesalan atas perbuatannya. Ia hanya menetapku tajam penuh harapan. Ya.. itulah terakhir kali aku melihat kake di rumah. polisi itu kemudian membawa kakek ke rumah tahanan.
Hari-hari kulalui tanpa kakek yang selalu menberi semangat. Kini kehidupanku terasa oleng bak burung kehilangan satu sayap. Namun di sela-sela aktifitas aku tak dapat menyembunyikan perasaan bersalah terhadap kakek. Kian hari rasa ini kian bertambah. Penyesalan demi penyesalan merasuk dan menyebar ke seluruh rongga dada. Begitu penat dan menyesakkan. Hingga akirnya pada suatu hari aku di datangi dua orang petugas kepolisian. Mereka memberikan sepucuk surat pemberitahuan. Tahukah engkau kawan apa isi surat itu ? surat itu adalah surat pembeitahuan bahwa kakek telah meninggal tadi malam. Ia terkena serangan jantung setelah solat tahajud. Ya Allah... begitu besar cobaan yang engkau beriakan kepadaku. Belum hilang kesedihanku atas ditahnnya kakek. Kini Engkau ambil dia untuk selamanya. Tak ada kata yang dapat aku ucapkan melainkan tangis dan tangis penyesalan.
Kini aku tidak punya lagi gairah untuk hidup. Semua semangat hidupku sirna seiring dengan kepergian kakek untuk selamanya. Namun aku teringat pesan kakek yang terakhir kali. Agar aku selalu menjaga nenek dan kembali kepada jalan yang benar. Akhirnya aku bertemu dengan seorang ustadz. Dia seorang alumni sebuah pesantren besar di jawa timur. Ustadz itu menyarankanku untuk belajar di pesantrenya dulu. Aku kembali pulang meminta restu nenek. Dan nenek pun merestui kepergianku. Di akhir keberangkatanku aku berjanji akan menjadi orang soleh yang mengabdi kepada orang tuanya. Dan aku meminta agar nenek menjaga diri dan selalu memberi kabar.
Kehidupanku di pesantren beransur membaik. Banyaknya kegiatan telah menghapus sebagian besar memori masa laluku. Aku merasa bersyukur bisa belajar di pesantren ini. Banyak ilmu yang aku ambil dari sini. Mulai dari ilmu umum hingga ilmu agama yang mendalam. Akhirnya aku menyadari akan perbuatan yang telah aku lakukan. Begitu besar dosa yang telah aku lakukan. Namun di setiap solat malam aku selalu berdoa.
" Ya Allah.. Seandainya malin kundang adalah balasan yang setimpal bagi seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Maka jadikanlah aku batu."

Writen at 8911-12;17

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar disini. . . ,
demi kebaikan bersama