PARADIGMA

PARADIGMA

Hari yang dingin di temani butiran salju lembut. Udara dingin seakan menggit kulit bahkan tembus sampai sumsum tulang. Kulihat termometer menunjukan suhu di bawah minus rata-rata. Sungguh sebuah fenomena alam yang sangat luar biasa di musim dingin. Kuberjalan mendekati jendela apartement dan kuusap embun yang menghalangi pandangan. Di kejauhan terlihat sebuah bayangan hitam menjulang tinggi. Seakan seseorang yang menujuk sesuatu di langit. Lebih pastinya seperti orang yang terkena encok pada usia minimal kepala tiga. Kupandangi lekat-lekat benda itu, ternyata itu sebuah patung Liberty. Yang merupakan simbol kebebasan di negeri paman sam. Sebuah negara yang menjunjung tinggi kebebasan atas nama hak asasi manusia. Hendry . seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan paska sarjananya di New York Univesity. Tinggal menunggu beberapa purnama lagi ia akan merampungkan tesisnya tentang Economic Scientis yang berkiblat pada madzhab Adam Smith. Sungguh sebuah perhelatan akbar bertarung mati-matian melawan para profesor untuk mempertahankan argumennya.
Tak lama kemudian matanya ia arahkan pada jalan depan apartemen yang telah putih tertutup salju. Tiba-tiba ia menemukan seorang anak kecil duduk mematung di bawah pohon cemara. Tangannya ia lingkarkan menutupi perutnya bak seorang model iklan Promag yang terserang penyakit mag kronis. Sungguh amat di buat-buat. Kupandangi lekat-lekat anak itu. Sel sensorik saraf penglihatanku menyampaikan data-data akurat pada otak dan menimbulkan banyak pertanyaan bergentayangan di kepala. Apa yang terjadi pada dia ? apa dia sudah gila !!, di saat musim dingin seperti ini ia malah nongkrong di pinggir jalan bak sorang penjual sayur di pasar minggu. Tapi naluri kebapaanku muncul dan mengajakku untuk menjadi seorang pangeran kuda putih yang menyelamatkan sang Snow White.
Kulangkahkan kaki menuju lantai bawah dan membuka pintu depan. Udara dingin menyerangku dari depan seakan kumelihat pasukan Sholahudin menyerang Alexius I dalam perang salib. Mereka menggigit tubuhku dari berbagai arah. Tanpa terasa tubuhku bergetar menahan dingin musim salju. Kulangkahkan kaki ke depan apartement menuju anak itu. Kupandangi wajah anak itu, begitu lugu dan masih sangat muda. Gigi kecilnya bergemerutu seperti mesintik di kantor sensus penduduk tahun 70-an. Rambutnya pirang di hinggapi salju putih. Dari pakaiannya ia terlihat baru pulang dari sekolah. Sungguh malang nasib anak ini. Ingin kutahu seperti apa sih orang tuanya, hingga tega meninggalkan anaknya di musim dingin yang ganas ini.

” Hi... what are you doing here...?”
“ What… ! Who are you….? And what do you want here?”

Dia menjawab pertanyaanku dengan sinis, tak jauh beda dengan pemain antagonis dalam film Siti Nurbaya. Tanpa kusadari naluri kebapaanku yang mengidamkan pangeran kuda putih, berubah menjadi monster power ranger yang siap menculik anak-anak kota. Kukerahkan seluruh kanuragan untuk membantah paradigma kotor orang amerika tentang orang asing.

“Ok… nevermind. Aku tak akan mengganggumu. Aku hanya kasihan melihatmu kedinginan. Btw di mana apartemenmu ?”
“Apartemenku di sebrang sana dan aku tidak bisa masuk karena piintunya di kunci oleh ayahku. Kayaknya kamu bukan orang asli Amerika ?”
“ Ya… aku orang Indonesia.”
“ Are you Indonesian.?”
“ Yes…”
“Are you muslim ?”
“Yes. I am a muslim.”

Dengan senang kujawab pertanyaannya dan bangga bahwa aku berkebangsaan Indonesia. Sebuah Negara dengan KTP berinisial agama islam terbanyak di dunia. Namun dibuat pusing hanya untuk mengesahkan RUU Pornografi yang sekarang entah menjadi apa statusnya. Tapi raut mukaku bertolak belakang dengan wajah anak itu. Kupandangi kedua retinanya. Seakan kumelihat tragedi 11 September yang menelan dua gedung pencakar langit WTC dan Pentagon. Terlihat jelas dua kapal terbang menabrak gedung itu diiringi gemuruh orang-orang berlarian menyelamatkan diri mereka masing-masing. Kukembali dihantui Crusade fersi Amerika dan membawaku keluar dari retinanya. Tak lama kemudian dia menanyakan banyak hal tentang islam. Banyak asumsinya yang memandang islam dari berbagai segi dengan bermacam pertanyaan menghujamku dari mulut mungilnya. Kujawab semua pertanyaannya dengan lembut dan mencoba untuk memahamkan islam dengan benar. Secara tidak langsung, aku menjadi terasa lebih akrab dengannya. Ternyata anak itu bernama Michael. Kuajak dia ke apartemenku sekedar untuk menunggu ayahnya datang.
Kubuka pintu apartemen dan kuajak dia ke ruang tengah. Kunyalakan Televisi serta kusiapkan susu hangat dan beberapa potong roti. Dia tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Dalam sekejap roti itu telah habis dilahapnya. Kukembali berbincang dengannya. Banyak cerita yang ia sampaikan. Ternyata Michael pindahan baru di kota ini. Ia sekolah di elementari school dan selalu diganggu oleh kaka kelasnya yang lebih senior. Ia selalu sendirian karena apabila ada orang yang mendekati Michael. Kaka kelasnya langsung memberinya pelajaran pada orang itu, sehinga tidak ada orang yang mau berteman dengan michael. Ayahnya seorang penjaga pintu di sebuah Club malam. Terbayang olehku film jin dan jun, mungkin ayahnya seperti om jin atau si kentung dalam film tuyul dan mbak yul. Sungguh seorang yang over size. Tak lama kemudian dia ingin pulang dan kuantarkan dia sampai pintu depan. Kukembali ke ruang tengah dan melihat anak itu bersama ayahnya. Namun apa yang terjadi. Sebuah fenomena orang amerika terjadi di TKP. Ayahnya menyuruh Michael membuka celananya.Terlihat bercak merah di beberapa daerah sensitifnya. Mata ayahnya melihat apartemenku dengan tajam seperti Hitler melihat rumah seorang yahudi.
Tiba-tiba bel apartemenku berbunyi diiringi pukulan keras seperti bedug idul fitri. Dengan cepat kubuka pintu depan. Sebuah sosok tinggi besar dengan jenggot lebat. Lebih dari sekedar om jin atau si kentung dalam film tuyul dan mbak yul. Tepatnya ia seperti jin teko mas ajaib dalam film Aladin. Benar-benar most over size. Tanpa basa basi ia langsung nyerocos bagai orang kebakaran jenggot. Ia menghujamiku dengan pertanyaan yang menggelitik syaraf adrenalin seputar anaknya. Diantara seribu pertanyaan bertenaga NOS dengan computer dasboard-nya seakan pertanyaan itu tak akan meleset dari jalurnya apalagi macet. Kutercengang bahwa aku dituduh telah melakukan tindakan asusila pada anaknya. Dengan cara membawa anaknya masuk ke apartemenku. Dengan barang bukti berupa bercak merah di sejumlah daerah sensitif.
Tanpa memberikanku kesempatan untuk membela diri. Ia langsung memberiku dua opsi pilihan. Pertama. Ia akan membawaku lewat jalur hukum atas tuduhan asusila. Kedua. Ia akan membatalkan niat pertamanya dengan syarat aku harus membayarnya sebesar $3000 dolar. Kuterpaku mencerna perkatanya. Mulutnya bagai lubang hujan langit diiringi petir menggelegar dan angin puting beliung yang siap menobok-obok fikiranku. Ya Allah... begitu besar cobaan yang engkau berikan kepadaku. Jangankan $ 3000 dolar . Sebulan saja aku cuman di kirim $ 500 dolar dan terasa begitu empot-empotan. Itu juga buat biaya listrik, sewa apartement, uang makan dan uang sekolah, belum lagi ada kebutuhan tak terduga. Apalagi $3000 dolar, bisa-bisa puasa enam bulan tanpa buka dan saur. Tepatnya ini sebuah pembunuhan secara perlahan. Begitu mengerikan.
Ia kembali menggertak. Menarik kerah bajuku dan membawaku keluar dari alam bawah sadar. Dalam sekejap ia telah mengembalikan kesadaranku. Ia langsung nyerocos lagi menanyakan opsi yang telah ia tawarkan. Karena tak mau menuggu lama jawabanku jin aladi itu langsung menarik lengan bajuku bak bu kos mengeluarkan mahasiswa Indonesia yang telah menunggak lebih dari sewindu.
Perjalanan hidupku semakin berat setelah aku dibawa ke kantor polisi. Dan Michael di bawa ke rumah sakit terdekat untuk di menjalani pemeriksaan. Di sana kudibawa ke ruang interogasi yang berukuran empat kali empat meter. Aku duduk di sebuah kursi besi dengan tangan terborgol. Sebuah lampu jalan tergantung tepat di atas kepalaku. Tak lama kemudian datang seorang sherif bertubuh besar dan berjenggot panjang. Kutercengang melihatnya. Ia tak ayal seperti om jin yang telah ber-jogres dengan si kentung. Lebih besar dan menyeramkan dari standar pemain antagonis indonesia. Cukup sendirian ia menginterogasiku dan aku langsung mati kutu di buatnya.

” Hai anak muda siapa namamu ?”
” Namaku Hendry.”
” Apakah kau orang Indonesia ?”
” Ya... aku orang Indonesia.”
” Apakah kamu Muslim?”

Aku tertegun tanpa jawaban. Aku merasa posisiku sudah diambang pintu kehancuran. Dalam benaku, orang Amerika adalah orang yang sangat membenci sekali orang muslim. Dan saya kira dia sudah tahu jawabannya. Indonesia adalah negara muslim terbanyak di Dunia. Namun apa yang terjadi, dia malah membalikan wajahnya tanpa menyentuhku sedikitpun. Cuman gertakan sebelumya yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.

”Hai .. anak muda. Apakah kamu melakukannya ?”
”Melakukan apa ?”
”Jangan belagak goblok.! Saya tahu kamu seorang mahasiswa yang berpendidikan tinggi, dan kamu pasti faham maksud saya ?”
”Demi Allah.... ”
” Keparat...! Jangan bawa-bawa nama tuhan.”
Dengan sengaja si kentung ini memotong perkataanku. Tangannya ia ayunkan ke samping telinga berancang-ancang untuk memukul. Tiba-tiba seorang petugas masuk dengan membawa sebuah map di tangannya. Si kentung itu mengambil map dan membacanya. Sebuah kesyukuran kupanjatkan kepada Allah. Karena ia tak jadi memukulku. Seandainya si kentung itu jadi memukulku. Aku pasti kalap di buatnya.

"Baiklah anak muda, sekarang kau bebas dari segala tuduhan yang menimpamu. Namun, setelah ini kutunggu kau di ruang kerjaku !"

Dia pergi meninggalkan ruang introgasi. Kulihat punggungnya semakin jauh dan hilang di telan jeruji besi. Semakin lama ia pergi, semakin sesak kepalaku di penuhi pertanyaan membingungkan. Kutimggalkan ruang introgasi dengan segala kepenatan yang ada. Terlihat sebuah pintu putih setengah kaca tertutup gorden hijau. Tak jauh dari lubang fentilasinya tertulis " Sherif A. Fedric ". Kuketuk pintunya tiga kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban menyuruhku masuk. Terlihat sebuah ruangan kerja yang lain dari ruang kerja biasanya. Entah kenapa suasana ketenangan begitu terasa. Ia keluar dari ruang dalam dengan membawa dua cangkir kopi hangat. Aku yakin sherif ini punya niat lain di balik segala kebaikannya. Kebanyakan orang amerika sangat benci bahkan anti terhadap islam. Sedang aku seorang pengembara dari negri jauh yang terkenal dengan mayoritas pemeluk islam terbanyak di dunia. Aku merasa kehidupan untuk menyelesaikan study-ku akan terasa lebih susah dan mengerikan. Tak lama kemudian sherif itu mendekatiku dan menyimpan secangkir kopi hangat di depan mejaku. Apakah kamu tahu kawan apa yang ia lakukan selanjutnya ?

" Assalamu akaikum wahai saudaraku......"

Subhanallah..... ia seorang muslim. Sungguh aku tak percaya di buatnya. Ia menghampiri dan memeluku erat. Ya Allah begitu besar rahmat yang engkau berikan kepadaku. Aku tak kuasa menahan rasa haru, sedih dan bahagia yang bercampur menjadi satu dalam dada. Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Baru kali ini aku merasakan indahnya nikmat islam yang begitu manis. Setelah bergulat dengan kemelut kehidupan yang begitu kejam. Merana dalam kelam, terseok api fitnah hingga membawaku terdampar di pulau mutiara.
Tak lama kemudian kami berdua berbincang-bincang banyak hal, baik mengenai cara hidup di Amerika maupun tentang islam menurut pandangan orang Amerika. Ternyata mereka lebih tahu banyak hal tentang islam. Kini aku sadar selama ini aku masih bodoh dalam memahami islam. Aku malu sebagai orang muslim yang tidak tahu hakekat keislamanku.
Tak lama kemudian ada seorang petugas membawa sebuah map hijau bersama ayah Michael. Terus terang aku terperanjat di buatnya. Mengapa dia datang lagi ? apakah masalah ini belum selesai ? Ya Allah... cobaan apa lagi yang akan engkau berikan kepadaku. Petugas itu berbincang sebentar dengan sherif. Beberapa menit kemudian sherif menatapku dan ayah Michael.

" Wahai saudaraku.. Allah telah memberikan rahmatnya kepadamu untuk kesekian kalinya. Sekarang engakau di beri dua pilihan. Pertama engkau diberi pilihan untuk menuntut balik atas tuduhan yang telah menimpamu. Kedua. Engkau memilih sejumlah uang sebagai ganti atas tuduhan itu ?"
" Wahai sherif saudaraku... islam mengajarkan untuk tidak menyimpan dendam kepada siapapun. Baik sesama muslim maupun non muslim. Aku ikhlas menerima cobaan ini. Aku yakin di balik semua ini Allah telah memberikan pelajaran dan rahmatnya kepadaku. Biarlah uang itu untuk biaya Michael anaknya agar ia tidak kedinginan menuggu ayahnya pulang kerja."
" Wahai anak muda... ternyata islam begitu indah dan damai. Selama ini dalam pandanganku islam begitu gelap dan identik dengan teroris. Banyak kaum barat menganggap islam sebagai agama extrim yang keras. Namun kini engkau telah membukaan paradigma tentang islam kepadaku. Engaku telah memahamkanku sekaligus mengajariku tanpa kata. Kau telah mengajariku dengan fakta yang nyata. Sungguh aku begitu kagum dengan pribadi-pribadi islam yang benar. Jika aku jadi kau dan kau dalam posisi seperti aku. Mana mungkin seorang sepertiku akan memaafkan kesalahanmu. Namun islam telah mengajarkanku cinta dan kasih sayang. Dan sekarang izinkanlah aku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di depan kalian berdua. Ashadu anlaa ilaha ila allah wa asyhaadu anna muhammadan rasulullah."




Writen By

PARAGON GENERATIONS

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar disini. . . ,
demi kebaikan bersama