Suatu hari imam Ghazali bertanya kepada para muridnya, "Siapakah yang paling dekat dalam kehidupan kita di dunia ini?" Para muridnya menjawab sesuai pengalaman yang mereka alami sendiri. Seorang murid menjawab, bahwa orang tuanyalah yang paling dekat dalam kehidupannya. Yang lain menjawab, temanya dan yang lain menjawab gurunya.
Imama Ghazali kemudian menjelaskan,bahwa jawaban murid-muridnya itu pada dasarnya benar semua. Tetapi ia kemudian mengingatkan bahwa yang sesungguhnya benar-benar paling dekat dengan kehidupan kita adalah sang maut, kematian.
Ghazali benar. Apa yang ditegaskan oleh sang Gullatul Islam itu sebenarnya sebuah peringatan kepada para muridnya-juga kepada kita semua-betapa kita seringkali melupakan kematian yang tiap waktu bisa mendatangi kita. Kita sering menganggap kematian adalah sebuah peristiwa yang jauh di ujung sana-meskipun yang dimaksud di ujung sana itu seringkali orang terdekat di sekitar kita,
Mengapa kematian dianggap sebagai pesetatu yang paling dekat dalam kehidupan kita, mengalahkan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita? Karena kematian adalah keniscayaan, sebuah kepastian. Al-Qur'an surat Ali-Imran menyebutkan bahwa segala yang hidup akan mengalami kematian.
Kepastian akan datangnya kematian merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh manusia. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini sudah membawa takdirnya sebagai orang yang kelak pasti akan menemui kematiannya sendiri. Kepastian ini bersifat mutlak dan tidak bisa dirubah oleh manusia paling berkuasa di muka bumi sekalipun-jika ada.
Kita tentu ingat dialog antara Ibrahim dengan Namrud yang sesumbar mengaku mampu menghidupkan dan mematikan orang. Namrud membuktikannya dengan membunuh orang yang ia kehendaki dan membiarkan hidup orang lainnya. Tetapi, kita tahu, Namrud sendiri tidak menolak takdirnya sendiri, menolail kematiannya yang tragis: dibunuh hanya oleh seekor nyamuk.
Karena kepastianya bersifat mutlak, maka kematian akan terus mengikuti kemana pun kita pergi. Detik-detik hidup kita akan selalu digotah oleh kematian. Tak ada barang sejangkal pun diatas muka bumi ini, bahkan diseluruh akan jahat saya ini, tempat steril yang bisa membebaskan kita dari intaian mau. Semuanya bisa dijangkau oleh maut, kapanpun dan dimanapun ia hendak menghampiri kita.
Jika kematian merupakan kepastian yang tidak ditawar, maka tak ada yang paling patut kita lakukan selain mempersiapkan diri menghadapinya. Mengapa demikian? Karena kita yakin bahwa kematian bukan akhiri perjalanan kita. Kematian hanyalah sebuah dermaga, stasiun atau terminal yang harus kita lalui untuk menuju dunia lain, sebuah dunia abadi tempat kita memetik dan mentah. Dan kita tahu, yang akan kita petik dan tuai disana tidak lain adalah apa yang kita taman dan kita semai 'di sini' pada hari ini. (Ridwan)
(Dikutip dari majalah Hidayah edisi juni 2006)
Imama Ghazali kemudian menjelaskan,bahwa jawaban murid-muridnya itu pada dasarnya benar semua. Tetapi ia kemudian mengingatkan bahwa yang sesungguhnya benar-benar paling dekat dengan kehidupan kita adalah sang maut, kematian.
Ghazali benar. Apa yang ditegaskan oleh sang Gullatul Islam itu sebenarnya sebuah peringatan kepada para muridnya-juga kepada kita semua-betapa kita seringkali melupakan kematian yang tiap waktu bisa mendatangi kita. Kita sering menganggap kematian adalah sebuah peristiwa yang jauh di ujung sana-meskipun yang dimaksud di ujung sana itu seringkali orang terdekat di sekitar kita,
Mengapa kematian dianggap sebagai pesetatu yang paling dekat dalam kehidupan kita, mengalahkan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita? Karena kematian adalah keniscayaan, sebuah kepastian. Al-Qur'an surat Ali-Imran menyebutkan bahwa segala yang hidup akan mengalami kematian.
Kepastian akan datangnya kematian merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh manusia. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini sudah membawa takdirnya sebagai orang yang kelak pasti akan menemui kematiannya sendiri. Kepastian ini bersifat mutlak dan tidak bisa dirubah oleh manusia paling berkuasa di muka bumi sekalipun-jika ada.
Kita tentu ingat dialog antara Ibrahim dengan Namrud yang sesumbar mengaku mampu menghidupkan dan mematikan orang. Namrud membuktikannya dengan membunuh orang yang ia kehendaki dan membiarkan hidup orang lainnya. Tetapi, kita tahu, Namrud sendiri tidak menolak takdirnya sendiri, menolail kematiannya yang tragis: dibunuh hanya oleh seekor nyamuk.
Karena kepastianya bersifat mutlak, maka kematian akan terus mengikuti kemana pun kita pergi. Detik-detik hidup kita akan selalu digotah oleh kematian. Tak ada barang sejangkal pun diatas muka bumi ini, bahkan diseluruh akan jahat saya ini, tempat steril yang bisa membebaskan kita dari intaian mau. Semuanya bisa dijangkau oleh maut, kapanpun dan dimanapun ia hendak menghampiri kita.
Jika kematian merupakan kepastian yang tidak ditawar, maka tak ada yang paling patut kita lakukan selain mempersiapkan diri menghadapinya. Mengapa demikian? Karena kita yakin bahwa kematian bukan akhiri perjalanan kita. Kematian hanyalah sebuah dermaga, stasiun atau terminal yang harus kita lalui untuk menuju dunia lain, sebuah dunia abadi tempat kita memetik dan mentah. Dan kita tahu, yang akan kita petik dan tuai disana tidak lain adalah apa yang kita taman dan kita semai 'di sini' pada hari ini. (Ridwan)
(Dikutip dari majalah Hidayah edisi juni 2006)
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar disini. . . ,
demi kebaikan bersama